Rabu, 15 Desember 2010

Jangan jadi koperasi pedati atau merpati

Tidak sengaja saya terdampar dalam sebuah diskusi santai bersama orang2 kampung yang sederhana. Seorang kawan baik mengajak (dengan sedikit bujuk rayu) agar saya bisa terlibat dalam acara urun rembug ini. Jelas saja undangannya tidak bisa mampu saya tolak, walau jaraknya muskil ditempuh dengan hanya mengayuh sepeda.

Kawan ini tinggal dan berkarya di Lampung. Bersama beberapa kawannya yang lain, ia berupaya membangun sebuah koperasi masyarakat pengelola hutan di Kabupaten Lampung Tengah. Agak berlebihan memang jika saya yang tak paham berkoperasi ini diundang untuk terlibat dalam urun rembug pembentukan koperasi tersebut. Syukurlah acaranya dikemas dengan santai dalam suasana kesederhanaan kampung Jawa/Sunda perantauan di Desa Gunung Aji, Kecamatan Pubian. Suasana santai serta kesederhanaan ini lah yang pada akhirnya mendongkrak rasa percaya diri saya.




Yang saya pahami tentang koperasi, apa pun bentuknya itu, adalah sebuah unit usaha yang dibangun untuk memberikan keuntungan bagi para anggotanya. Dalam kesederhanaan berpikir saya koperasi tentunya harus dibangun, dimiliki, dikelola, dan memberikan manfaat maksimal bagi para anggotanya. Sayangnya niat dan cita-cita luhur tersebut biasanya tidak terwujud nyata. Banyak sekali koperasi yang pada akhirnya menjadi bangkrut, tutup buku, dan hilang begitu saja. Hanya sedikit rasanya lembaga koperasi yang tetap bertahan dan bahkan mencapai cita-citanya mensejahterakan seluruh anggota. Ada banyak hal yang disinyalir menjadi penyebab ketidaksuksesan pembentukan koperasi ini. Penyebab yang sering saya dengar adalah kurangnya permodalan, anggota tidak aktif, pengurusnya korupsi, kemampuan manajerial yang rendah, hingga terbelit dalam masalah hutang-piutang. Seluruh cerita inilah yang membuat saya menjadi loyo dan ragu-ragu ketika orang mengajak saya membicarakan pengembangan koperasi. Saya biasanya menjadi takut dan tidak percaya diri.

Saya duduk bersila di lantai sebuah rumah warga di Kampung Umbul Mesjid, Desa Gunung Aji. Para warga yang hadir adalah orang-orang kampung biasa dari beberapa desa di Kecamatan Pubian. Mereka tidak tampak seperti para pemuka kampung. Pakaian dan cara berbicaranya begitu sederhana dan biasa saja. Mereka berbicara dengan selingan bahasa Jawa dan bahasa Sunda yang kental. Wajar sekali karena mereka ini memang adalah para migran dari Jawa dan dari tanah Sunda. Sebagian lagi adalah orang2 yang kerap dijuluki Pujakesuma (putra jawa/sunda kelahiran sumatera).

Kawan saya mengawali pertemuan dengan semangat dan keyakinan tinggi. Ia menjelaskan perihal koperasi yang ingin dibangun. Sebuah koperasi yang akan memberikan manfaat ganda bagi para petani hutan di Kecamatan Pubian. Koperasi ini ditujukan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi dalam bentuk menjual produk hasil hutan. Sementara di sisi lain juga akan ditujukan untuk menyelamatkan fungsi ekologis kawasan hutan dan kebun hutan yang dikelola oleh warga setempat. Sungguh sebuah tujuan yang saya anggap sangat mulia.

Uraian kawan saya ini ternyata mendapat sambutan yang sangat baik dari para warga yang hadir. Dua orang peserta diskusi yang saya kenal sebelum acara ini, bahkan begitu yakin akan keberhasilan koperasi yang dicita-citakan tersebut. Secara kebetulan mereka berdua adalah petani hutan dari Desa Pekandangan yang telah lama berbagi mimpi dengan kawan saya tadi. Sementara para warga lainnya pun begitu antusias dengan rencana ini. Begitu antusiasnya hingga akhirnya diskusi lesehan berlanjut menjadi diskusi penyusunan usulan awal koperasi petani hutan. Selepas makan siang, kami semua segera pindah tempat ke sebuah ruang kelas di madrasah ibtidaiyah. Di sinilah akhirnya para peserta menuangkan seluruh energinya untuk menyepakati pembentukan koperasi. Ruang kelas itu menjadi saksi sejarah terbangunnya “Koperasi Wana Tirta”. Sebuah koperasi bagi para petani hutan yang diawali dari Kecamatan Pubian. Koperasi ini bertujuan mengelola kawasan hutan dan kebun hutan serta hasil bumi yang ada, baik berupa kayu maupun produk-produk hasil hutan non kayu.

Kemarau panjang keraguan saya rasanya menjadi hilang oleh hujan antusiasme warga kampung untuk membentuk Koperasi Wana Tirta. Mungkin karena saya berpikir terlalu rumit. Mungkin juga karena saya terlalu terbebani dengan contoh-contoh kegagalan koperasi selama ini. Para warga kampung itu telah merubah keyakinan saya. Saya masih ingat komentar seorang peserta diskusi yang sangat inspiratif bernama Pramono dalam diskusi itu. Begitu menggugah, walau keluar dari bibir seorang yang tampak sederhana (seperti pada gambar). Demikian komentar Pak Pramono:

Koperasi itu ada 3 jenis. Ada yang disebut koperasi merpati, yang hanya hidup dan bergerak ketika ada suntikan dana dari pihak luar. Ada yang disebut koperasi pedati, yang hanya bergerak ketika ada dorongan semangat dari pihak luar. Dan yang ketiga adalah koperasi sejati, yang dapat bergerak sendiri berdasarkan keatifan dari para anggotanya. Koperasi sejati inilah yang harus kita bangun, jangan seperti pedati maupun merpati.


0 komentar: