Seorang teman tiba2 datang sambil menyodorkan sebuah kartu undangan berdesain bagus. Saya hampir mengira ini adalah undangan pernikahan dari seorang teman dekat. Namun perkiraan tersebut dengan cepat hilang dan berganti dengan kerutan2 di dahi. Apa maksudnya ini?
Undangan itu berjudul “Nicotine War” dengan warna merah kecoklatan, bergambar dua buah tangan yang saling berhadapan dan masing2 terselip sebatang rokok yang menyala. Sementara asap yang mengepul dari kedua rokok tersebut membentuk sketsa gelas anggur yang dihiasi ular, lambang dunia kesehatan atau kedokteran. Desain undangan itu tampak spektakuler dan bukan “ecek-ecek”. Ini sebuah acara serius tampaknya.
Saya ternyata diundang untuk menghadiri acara bedah buku yang berjudul Nicotine War. Acaranya diselenggarakan di Aula Ahmad Baehaqie, Pusat Penelitian, Pengkajian, dan Pengembangan Wilayah (P4W IPB). Salah satu lembaga pengundangnya adalah sebuah kantor berita alternatif berbasis web di Bogor yang saya kenal, yaitu Kotahujan.com. Moderatornya pun saya kebetulan kenal, yaitu Widhy sang pemilik toko buku Kedai Sinau. Setelah saya pikir2, tidak ada salahnya saya hadir di acara ini. Siapa tahu berguna. Karena saya diundang secara khusus, saya kenal beberapa orang di sana, saya kenal Kotahujan.com, dan lokasinya dekat maka hadir lah saya pagi tadi.
Acara ini ternyata bukan sekedar bedah buku biasa. Buku berjudul Nicotine War ternyata adalah sebuah buku yang berusaha mengupas cerita politik dagang yang dimulai dari Amerika Serikat. Penulisnya adalah seorang bule yang saya tidak kenal bernama Wanda Hamilton. Sementara di bagian depannya ada epilogue dari seorang pengacara Indonesia bernama Gabriel Mahal. Yang menarik, ternyata acara ini juga menghadirkan seorang budayawan terkenal yaitu M. Sobari, sang pengacara Gabriel Mahal, seorang dosen kandidat Doktor dari IPB yaitu Ivanovich Agusta, serta penampilan monolog oleh seorang seniman Yogya dari Teater Gandrik yaitu Wani Darmawan.
Singkatnya … mendengar dan menyimak kupasan tentang buku ini rasanya seperti sedang menyimak sebuah cerita spionase. Buku ini berisikan penjelasan-penjelasan tentang cerita sebenarnya di balik upaya kolonialisme baru. Cerita bahwa rokok itu membunuh dan memiskinkan orang ternyata adalah sebuah kemasan dalam politik dagang belaka. Data-data tentang kematian ribuan orang karena merokok ternyata hanya manipulasi data. Argumen ilmiah tentang kesehatan ternyata hanya “tipuan”. Untuk konteks Indonesia, M. Sobari menjelaskan bahwa yang terjadi adalah sebuah “pelacuran intelektual dan pelacuran keagamaan”. Ia mengilustrasikan istilah tersebut dengan menceritakan adanya money politics sebesar 4 milyar rupiah yang melibatkan Muhammadiyah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwa haram untuk merokok.Sementara itu, Gabriel Mahal juga menjelaskan kronologi kejadian asal-muasal kampanye anti tembakau tersebut di Amerika Serikat. Ini diawali oleh seorang peneliti dari UCLA yang kemudian bekerjasama dengan perusahaan obat-obatan yang memproduksi obat anti nikotin dan pengganti rokok. Mereka merancang sebuah upaya propaganda untuk melawan dominasi kampanye perusahaan2 rokok dan tembakau di Amerika. Upaya ini ternyata sukses besar dan didukung oleh aturan hukum Amerika. Ternyata kesuksesan tersebut telah menggiring mereka untuk memperluas pasar produk2 obat tersebut ke seluruh dunia. Kendaraan yang mereka pilih adalah institusi besar kesehatan dunia yaitu World Health Organization (WHO). Upaya ini sempat gagal hingga akhirnya di tahun 1998 mereka berhasil memastikan adanya prioritas WHO untuk menangani meluncurkan kampanye anti-nikotin di seluruh dunia. Kampanye ini didukung juga oleh perusahaan2 obat besar dunia seperti Novartis yang terkenal itu.
Wooooww … edan juga rasanya situasi ini, apalagi setelah mendengar pemaparan kedua orang tersebut. Pemaparan tersebut menjadi semakin jelas lagi, ketika para pemirsa bedah buku menyaksikan penampilan monolog teatrikal dari Wani Darmawan. Gaya yang khas ‘ala Teater Gandrik jelas ditampilkannya. Ceritanya diramu apik dalam cerita Jawa legendaris, yaitu Roro Mendut versus Tumenggung Wiroguno. Wani menampilkan kedua tokoh tersebut seorang diri dengan sempurna. Roro Mendut sang perempuan atraktif, sensual dan cantik, diposisikan sebagai pihak pengusaha rokok dan tembakau Indonesia. Sementara itu Wiroguno yang penuh kuasa, arogan, dan licik diposisikan sebagai penguasa yang menggunakan kekuatan politik untuk mengeruk kekayaan dengan dukungan perusahaan2 obat pengganti rokok.
Semua hal tersebut membuat saya kembali melihat pada apa yang terjadi di sekitar saya. Saya tinggal di Bogor dan baru-baru ini kampanye anti-rokok sedang gencar dilakukan oleh Pemerintah Kota Bogor. Bahkan mereka juga telah mencanangkan Kota Bogor sebagai Kota Bebas Rokok di tahun 2010 ini. Argumen yang dipakai rasanya mirip dengan cerita yang saya dapat pagi ini. Kampanye itu menggunakan argumen kesehatan, argumen sosial, dan juga agama. Waduuuh … jangan2 Bogor telah menjadi korban dari perang dagang tembakau ini.
Saya tidak bermaksud untuk memihak pada dua kubu yang sedang berkonflik. Saya memang perokok, namun saya juga tak rela jika ternyata larangan merokok dan anti-tembakau itu didasarkan oleh kepentingan politik dagang. Terlebih jika politik dagang tersebut penuh dengan tipu daya dan kepalsuan yang menggunakan agama sebagai tunggangannya. Itu adalah keji, licik dan tak bermoral.
Lalu bagaimana sebaiknya???
gambar2 di atas diunduh dari laman ini dan ini.
Rabu, 21 Juli 2010
Bogor korban perang tembakau?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
untung si endut jual rokok eceran, coba kalau jual pesusahaan nya pasti nya beda cerita nya kali he he he he
Kedua Pilihan tetap ikutan perang.
Pilihan bijak, berhenti merokok, tanpa melalui proses ke dokter, ke psikolog, ke terapi, pakai obat dan macam-macam pengganti rokok.
Berhenti aja atas usaha kesadaran sendiri...
Maka tidak akan terlibat dengan perang ini.
Bisa kah .....
Posting Komentar