Rabu, 21 Juli 2010

Pemuda/i Adat bahas UNDRIP

"Martabat bangsa adalah pemuda/i. Ditangan mereka kedaulatan dan kemandirian sebuah negara di tentukan"


Selasa, 20 Juli 2010, Pemuda/i Adat membahas Deklarasi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tentang Hak-hak Masyarakat Adat atau lebih populer dengan sebutan UNDRIP. Diskusi dilakukan di Kantor AMAN ini, diikuti oleh peserta program magang dari Direktorat Pemuda Adat.

Diskusi adalah upaya untuk meningkatkan pemahaman terkait isu-isu masyarakat adat. Direktur Pemuda Adat AMAN, Arifin Saleh, mengatakan bahwa diskusi ini diadakan untuk berbagi pengetahuan dan informasi antar sesama peserta magang, serta evaluasi terhadap buku-buku bacaan yang telah ditugaskan sebelumnya (termasuk tentang UNDRIP).

Dengan metode ini pemuda/i adat dapat lebih kritis dan peduli terhadap permasalahan masyarakat adat, khususnya di komunitas masing-masing. Selain itu, meningkatkan kepercayaan dalam menyampaikan pendapat kepada orang lain. "Saya menjadi lebih percaya diri untuk membuat dan menjelaskan presentasi di depan teman-teman" Kata Lily dengan bangga.


Pada kesempatan ini, Lily Mustari Paloydongan mendapat tugas mempresentasikan tentang UNDRIP untuk mengawali diskusi. Pemudi Adat utusan dari Komunitas Adat Toraya, Sulawesi Selatan ini menjelaskan bahwa UNDRIP atau United Nation on the Rights of Indigenous Peoples adalah standar minimum International untuk perlindungan, penghormatan dan pemenuhan Hak-hak Masyarakat Adat berbasis Hak Asasi Manusia (HAM).

Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa Hak-hak Masyarakat Adat yang terkandung dalam UNDRIP adalah sebagai berikut;

  • Hak menentukan nasib sendiri

  • Hak atas pembangunan

  • Hak atas pendidikan

  • Hak atas Budaya dan warisan budaya

  • Free, Prior and Informed, Consent (FPIC)

  • Hak atas kesehatan

  • Dokumen UNDRIP dapat diperoleh di website AMAN

    Setelah presentasi dilanjutkan pembahasan untuk memperdalam materi. Direktur Pemuda Adat, Arifin Saleh bertindak sebagai narasumber.


    "Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat ini bersifat seruan moral, jika tidak dilakukan oleh suatu negara yang menyetujui (menandatangani) maka negara tersebut tidak bermoral / beretika", Arifin Saleh menjelaskan. Lebih lanjut disampaikan bahwa fungsi UNDRIP bagi masyarakat adat ada dua yaitu;

    1. Eksternal; menjadi suatu standar hukum minimum di suatu negara, dan

    2. Internal; harus dijadikan landasan hukum bagi masyarakat adat dan memperkuat hukum-hukum adat.

    UNDRIP ternyata masih mempunyai kekurangan. Menurut peserta diskusi, hal ini dikarenakan UNDRIP sebagai sebuah deklarasi yang bersifat sebagai tanggung jawab moral saja dan tidak mengikat.

    Berbeda dengan sebuah konvensi yang sifatnya mengikat bagi negara yang ikut menandatangani. Jika dilanggar, maka suatu negara akan mendapatkan sanksi.

    Meskipun demikian, UNDRIP adalah safe guard yang ada saat ini bagi masyarakat adat untuk memperjuangkan dan atau mempertahankan hak-hak dasarnya. Tantangannya adalah bagaimana pemuda/i adat dapat mensosialisasikan dan menggunakan UNDRIP ini dalam advokasi kebijakan dan program yang merugikan masyarakat adat di wilayahnya masing-masing.

    "Masyarakat adat pada umumnya masih banyak yang belum tau tentang UNDRIP. Sebaiknya disosialisasikan agar mereka mengetahui dasar-dasar hukum yang kuat dalam mempertahankan hak ulayatnya", kata Margareth Demena, pemudi utusan komunitas Tablasupa, Distrik Depapre, Jayapura-Papua.

    Para peserta sangat antusias mengikuti diskusi. Bahkan, mereka mengusulkan untuk lebih sering diadakan. Dengan diskusi mereka akan lebih memahami isi buku yang mereka baca.

    "Yang aku tahu tentang buku deklarasi itu hanya sebatas hak-hak masyarakat adat dan belum secara detail. Menurutku diskusi seperti pagi tadi bagus, dan harus sering diadakan" Saran dari Odih Kustiandi, pemuda dari komunitas adat Kasepuhan Sinarresmi.

    Program Magang untuk Pemuda/i Adat

    Diskusi ini adalah rangkaian kegiatan dalam program magang AMAN. Sebelumnya para peserta diberi tugas untuk membaca buku-buku dan atau dokumen yang terkait dengan AMAN dan isu masyarakat adat. Beberapa bacaaan yang dianjurkan adalah; AD/ART AMAN, UNDRIP, FPIC, dan Convention on Biological Diversity (CBD).

    Konggres AMAN, memandatkan Direktorat Pemuda Adat untuk menciptakan kader-kader yang mampu mengembangkan potensi dan berjuang bagi komunitas adatnya. Untuk menjalankan mandat tersebut, diadakan program magang bagi pemuda dan atau pemudi adat. Hal ini juga diatur dalam AD/ART AMAN, yang menyebutkan bahwa setiap komunitas harus mengirimkan kader-kadernya untuk magang di PB AMAN sebesar 2% dari total populasi.

    Magang adalah program belajar, beraktifitas dan bekerja untuk kader-kader pemuda adat yang direkrut dan direkomendasikan oleh Pengurus Daerah dan Pengurus Wilayah AMAN. Program ini lebih diprioritaskan untuk pemuda/i dari komunitas adat anggota AMAN. Waktu magang minimal 3 bulan, setelah itu kembali dan mengaplikasikan ilmu yang dipunyai di komunitasnya.

    Program magang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas (pengetahuan dan kemampuan) bekerja secara teknik bagi kader pemuda/i adat untuk disiapkan memperkuat pengurus AMAN di Daerah dan Wilayah.

    Saat ini pemuda dan pemudi adat yang magang adalah sebagai berikut;

  • Lily Mustari Paloydongan, utusan dari komunitas adat Toraya,Sulawesi Selatan

  • Yohanis Bungalangan, utusan dari komunitas adat Mengkendek, Sulawesi Selatan

  • Odih Kustandi, utusan dari komunitas adat Kasepuhan Sinarresmi, Kesatuan Adat Banten Kidul

  • Anggi, utusan dari komunitas adat Kasepuhan Ciptamulya, Kesatuan Adat Banten Kidul

  • Nifron Ba'un, utusan dari komunitas adat So'e, Nusatenggara Timur

  • Margareth Demena, utusan dari komunitas adat Tablasupa, Distrik Depapre, Kabupaten Jayapura, Papua


  • UNDRIP landasan perjuangan

    Masyarakat adat di Indonesia telah mengalami diskriminalisasi, marjinalisasi dan bahkan kriminalisasi sejak jaman kolonial hingga saat ini. Sistem pembangunan yang buruk dan tidak memperhatikan hak-hak masyarakat telah menghancurkan kemandirian, kedaulatan, dan martabat masyarakat adat sebagai elemen terbesar pembentuk bangsa ini.

    Hadirnya UNDRIP merupakan tonggak bersejarah bagi masyarakat adat. Deklarasi ini adalah "alat" bagi masyarakat adat, khususnya di Indonesia, untuk mendapatkan kembali hak-haknya.

    Pemerintah Indonesia sebenarnya telah menyetujui dan menandatangi UNDRIP dalam sidang umum PBB pada 13 September 2007 di New York yang lalu. Namun, pemerintah belum mengimplementasikan secara penuh pasal-pasal yang ada didalamnya. Terbukti dengan masih adanya kebijakan yang merugikan masyarakat adat.

    Sebagai contoh, Undang-undang (UU) 41/1999 tentang kehutanan. Dalam UU ini disebutkan bahwa "Hutan adat adalah Hutan Negara". Secara implisit definisi tersebut tidak mengakui hak masyarakat atas wilayahnya, khususnya hutan.

    Saat ini, ada beberapa beberapa kebijakan sektoral yang sudah mengakui dan menyediakan perlindungan hukum bagi masyarakat adat. Beberapa kebijakan tersebut diantaranya adalah;

  • UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (lihat pasal

  • UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (lihat pasal 61)


  • Meskipun demikian kedua undang-undang diatas belum mampu memberikan jaminan menyeluruh terhadap hak-hak masyarakat adat, karena bersifat sektoral. Oleh karena itu, diperlukan payung hukum (dalam bentuk UU) yang secara khusus mengatur tentang hak-hak masyarakat adat.

    AMAN saat ini sedang mendesak pemerintah untuk mengeluarkan UU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat dan merevisi UU 41/1999 tentang kehutanan. Kedua agenda legeslasi RUU ini telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS) tahun 2010-2014.

    UNDRIP menjadi salah satu landasan AMAN dalam mensukseskan agenda tersebut.

    ARS/AMAN

    1 komentar:

    heulang jawa mengatakan...

    mantaap nih ... AMAN sudah bergerak sama2 dengan para pemuda/pemudi adat. Gak cuman sama orang2 tua aja. Saluut buat Monang dan temen2nya!!