Selasa, 20 April 2010

Perompak dan Para Pengendali Air

Menyusuri lajur tanggul yang panjang terasa tak berujung... hamparan air disemua tujuan menjadi terasa semakin jauh... pondok yang dituju terlihat kecil ditepian, seperti noktah yang berada dikehijaun hutan Nipah... berada di persimpangan tanggul membuat harus dapat mengira arah mana yang mengantar jarak terdekat... huuuh... terlihat sama saja... petak tambak tidak beraturan, ukurannya pun beraneka... di sebelah kanan 25 hektar, kiri 10 hektar dan 5 hektar saling berimpit, dibagian depan berbentuk memanjang membuat harus memilih belok ke kiri atau kanan... kupilih kearah hutan Nipah sajalah, lebih teduh...


Baru sebentar belok kanan ada yang teriak... hoooy... hoooy... teriakan berasal dari pondok lain di sebrang tambak... tidak tau apa maksudnya... yang terdengar cuma teriakan samar dari beberapa orang yang terlihat kecil di teras pondok... merasa penasaran berbalik sajalah... tak lama berjalan terlihat dari kejauhan ada beberapa orang, diantaranya seorang ibu dan dua orang anak kecil... tidak ada lagi keraguan dan hilang rasa khawatir yang semula ada.

"kita tadi malam takut mas.." ungkap si ibu dengat logat sulawesi yang kental. memang para penjaga tambak berasal dari pulau sebrang selat makassar... mereka berasal dari Bulukumba, Pinrang, Sengkang, Pare-pare dan beberapa daerah lain di Sulawesi Selatan. "tidak biasa ada orang yang datang ke tambak.. biasanya perampok.." ungkap si bapak. "kalau di laut sudah sering, tapi kadang mereka juga ke pondok..." sambil menunjuk ke arah pondok yang pernah menjadi korban. "tadi malam kita sekeluarga sudah siap-siap lari ke hutan Nipah... kita sudah hapal lokasi di sini..." si bapak menambahkan.

Sama sekali tidak menyangka... menggunakan headlamp sewaktu keliling tambak mencari kepiting semalam jadi cerita yang berbeda bagi keluarga yang tinggal di pojok tambak jauh di sebelah Timur... empat orang berjalan berkeliling tanggul tengah malah dengan jenis senter yang asing membuat ketakutan tersendiri bagi keluarga ini. "kalau saja semalam belok kekiri di simpang tambak, kami sekeluarga sudah lari" ucap si ibu. "mereka sudah tidur... terus saya bangunkan...." timpal si bapak berkulit legam yang sedang bertelanjang dada... panasnya tambak membuat bertelanjang dada menjadi pilihan.

Para perampok pondok di tambak atau perompak hasil tambak udang di laut atau sungai menjadi momok tersendiri bagi para pekerja tambak di sekitar wilayah Tarakan. Mereka menggunakan senjata dan speedboat sering menghadang speedboat yang membawa hasil panen tambak. Tidak hanya mengambil hasil atau apa aja yang ada di dalam speedboat, mereka juga merampas speedboat dengan memaksa penumpangnya terjun ke air dan meninggalkannya di tepian hutan Nipah. Wajar kalau mereka begitu takut terhadap orang yang tidak dikenal. Perampokan dilakukan tidak hanya dimalam hari, tapi juga siang hari. Banyaknya percabangan sungai membuat para perompak leluasa melakukan tindakan kejahatannya.

Pada tahun 2009 saja sudah terjadi 45 kali kasus perampokan yang di laporkan ke pihak kepolisian. Namun baru 10 kasus yang berhasil diungkap. Pelaku tambak melakukan aksinya di wilayah Muara Bulungan, Mangkudulis, Tanjung Tiram, pulau Tias, dan perairan Tanah Karungan (
Kaltim Polri.go.id)

Sudah banyak perompak yang tertangkap, bahkan diantaranya ditembak kakinya. Tapi kejadian ini masih saja terus berlangsung. "perompak itu mati satu tumbuh seribu" ucap seorang mahasiswa Universitas Borneo di Tarakan. Menurut Ali, salah satu penjaga tambak, meskipun sudah ditembak kakinya dan dipenjara, perompak pemilik senjata api tetap dapat jatah dari perompak lain dengan meminjamkan senjatanya. "orangnya sudah tidak merampok mas, tapi senjatanya jalan terus" ungkapnya. "tidak ada gunanya kami melawan... dan untuk apa juga... karena kita ini cuma bekerja sama boss, bukan pemilik... tidak ada juga pengaruhnya buat kita..." ungkapnya dengan logat Sulawesi yang kental.

Memang bagi pekerja seperti Ali, yang kerjaan rutinnya mengendalikan air dan menjaga kualitas air tambak dengan memanfaatkan pasang surut air laut, memungkinkan untuk terkena resiko tersebut. Kerja keras yang membutuhkan kemampuan membaca dinamika pasang surut air laut perhari yang selalu berubah setiap bulan, ditambah dengan pekerjaan lain seperti menjaga tanggul jangan sampai bocor, panen dan menjual hasil tambak ke kota,dengan upah persenan tidak sebanding dengan resiko yang dihadapi setiap harinya.

Kenapa mereka yang mendapatkan keuntungan paling rendah dan bekerja paling berat... selalu berhadapan dengan resiko yang paling tinggi... huuuh. Memang keadilan hanya ada diantara harapan dan angan-angan...


(Ghonjess)

photo by Ghonjess

1 komentar:

Moes Jum mengatakan...

hebat, tulisan yang sangat menyentuh rasa ... kasihan amat ya nasib penjaga tambak itu. gimana sih ceritanya para penjaga itu bisa datang jadi perantauan di Tarakan?