Pagi dan nostalgia Cibanteng
Pagi hari, walau tidak terlalu pagi, kami kembali meneruskan perjalanan. Sekitar pukul 8 pagi (kayaknya) kami mulai meninggalkan persinggahan di Kampus IPB ini. Sebelum kami berangkat saya dan Ruwi pun kembali memasang prasasti telapak. Kami memakunya pada kerangka pintu masuk sekretariat LAWALATA IPB. Setelah itu, kami pun berfoto bersama. Baru setelahnya kami berpamitan dan meneruskan perjalanan napak tilas ini. Kami melintas di koridor yang menjadi seperti jembatan di atas Danau Situ Leutik. Danau buatan ini adalah satu2nya danau yang berada di lingkungan kampus ini. Sinah matahari pagi terasa indah saat memantul di atas danau dan mengenai muka2 kami yang tidak mandi. Hal ini mendorong saya untuk memotret. Sekalipun saya tidak mampu menangkap keindahan sinar matahari di atas danau, namun hal itu tidak mengurungkan niat saya untuk memotret. Jepret demi jepret pun saya lakukan dengan obyek utama yang paling mudah, yaitu … kami para penapak tilas ini.Saat sudah berada di luar kawasan kampus, tepatnya di Jalan Raya Darmaga kami semua mulai merasa lapar. Ini kan saatnya sarapan pagi. Di kiri-kanan jalan terlihat orang berjualan bubur ayam dan nasi uduk. Ingin rasanya mampir untuk mengisi perut sambil ngopi. Tapi rupanya kami masih cukup tabah dan tidak tergoda untuk berhenti. Kami berjalan terus hingga sampai ke tujuan selanjutnya, yaitu Cibanteng Motor. Tempat ini sebenarnya hanyalah sebuah bengkel ban dan tempat cuci mobil. Namun bagian belakangnya menyediakan kamar2 kos. Dulu sekali di tahun 1995-1996 beberapa dari kami pernah kos bersama di sini dan mulai memproklamirkan diri sebagai Telapak. Setelah berfoto bersama di depan halaman Cibanteng Motor, kami pun menuju tempat favorit kala itu yaitu Warung Nasi Uduk Ceu Mar. Sebuah warung sederhana sekali yang berada di belakang tempat kos dan bengkel ini.
Sontak si pemilik warung, yaitu Ceu Mar dan suaminya kaget bukan kepalang dengan kedatangan ini. Rupanya mereka juga sudah sama rindunya dengan kami untuk bertemu. Saya dan Ruwi yang dulu pernah kos di Cibanteng Motor pun jadi asyik bernostalgia dengan Ceu Mar dan suaminya. Pembicaraannya sudah bisa ditebak lah. Mulai dari bagaimana kabarnya, tinggal di mana, anaknya berapa, serta bagaimana dengan teman yang lain seperti Arbi, Imran dan Ray adalah pokok bahasannya. Cukup lama juga kami berada di warung ini. Kami bercerita, sarapan nasi uduk dan mie instan, minum kopi, tak ketinggalan pula memasang prasasti dan memenuhi kewajiban morning call buang hajat pagi hari.
Salah rute berujung lelah
Selanjutnya ... ini adalah rute perjalanan yang kami rasakan paling berat. Perjalanan tidak lagi dilakukan malam hari yang sejuk, tapi di bawah terik matahari. Kami meninggalkan Cibanteng sekitar pukul 10. Jumlah personil pejalan kaki berkurang satu. Hendaru memutuskan untuk pulang mengambil mobil yang baru saja ia beli. Jadi lah empat orang pejalan kaki telapak mencoba bertahan dalam jauhnya jarak dan terik matahari. Kami melintasi 2 buah desa yang cukup luas, yaitu Cihideung Udik dan Situ Daun. Rute yang kami tempuh menuju Gunung Malang. Di sini lah letak kesalahannya. Jadi … kami telah salah mengambil rute perjalanan. Seharusnya kami menuju ke arah tenggara dan mencapai Ciapus dalam rute yang lebih singkat dan relatif tidak berat. Namun dasar kami tak tahu medan serta sedikit bumbu sok jago, maka rute yang kami tempuh jadi menuju ke arah selatan. Sekalipun pada akhirnya kedua rute tersebut dapat menuju ke Ciapus, namun rute selatan via Gunung Malang adalah pilihan yang bodoh. Untunglah kesalahan ini baru kami sadari setelah kami melaluinya dan kami pun agak masa bodoh dengan rute perjalanan. Yang ada di kepala kami saat itu hanya berjalan kaki dan berjalan kaki sejauh yang kami mampu.Namun demikian, kami berempat ternyata masih mampu melalui perjalanan melelahkan ini. Betapa tidak melelahkan, menu utama pembicaraan kami berempat hanya berkutat di seputar halusinasi akan pemandangan yang indah karena kelelahan. Kami juga membahas betapa kami akan selalu dikalahkan oleh seorang penjual roti pikulan karena ia lebih tahu medan dan kuat secara fisik dibanding kami. Dua orang personil kami Ejhonski dan Alex mulai mengkonsumsi suplemen yang menjanjikan kekuatan fisik yang “joss”. Alex menukar celana panjangnya dengan celana pendek. Langkah kaki kami sudah tidak terasa seperti melangkah, namun lebih mirip menyeret langkah. Jangan tanya soal keringat, karena kami semua selalu berkeringat.
Setelah beberapa kali beristirahat di tepi jalan, akhirnya kami memutuskan untuk beristirahat agak lama di Desa Situ Daun. Di sini kami bertemu dengan Hendaru dan Kang Hendra. Kami berencana untuk makan siang dan sholat (bagi yang sholat). Namun ternyata situasinya keputusan ini tidak sepenuhnya terjadi. Kami gagal makan siang. Dan yang lebih seru, ternyata kami terpisah. Saya terpisah dari yang lain. Saya melanjutkan perjalanan seorang diri dengan rute tanjakan kiri selepas Situ Daun. Sementara teman2 lain mengambil rute tanjakan kanan. Mungkin kelelahan telah membuat kami jadi terpisah. Saya merasa telah ditinggalkan oleh teman2. Namun teman2 mengira saya akan menempuh rute mereka. Syukurlah pada akhirnya, setelah terpisah satu jam lebih, kami kembali bersatu dalam tim. Kami bertemu kembali di sebuah tanjakan panjang dan tajam selepas Desa Situ Daun. Waktu sudah mendekati pukul 3 sore. Kami pun memutuskan utk menghentikannya dan menggantinya dengan kendaraan bermotor. Saya, Ejhon dan Hendaru menumpang mobil Hendaru yang dikendarai oleh Sunar. Ruwi mengendarai mobilnya sendiri yang datang bersama istri menjemputnya. Sementara Alex duduk manis di belakang motor yang dikendarai oleh Kang Hendra.Rombongan kendaraan kami akhirnya berhenti di Warung Loa. Kami memutuskan berhenti di sini untuk makan siang yang terlambat. Kami pun makan siang di sebuah warung diiringi dengan guyuran hujan lebat. Setelah otot sedikit melemas, perut terisi kenyang, dan kelelahan mulai berkurang kami memutuskan untuk melanjutkan jalan kaki menuju rumah Budi Hartono di Ciapus. Kami memperkirakan perjalanan ini hanyalah perjalanan dalam hujan selama 45 menit sampai 1 jam. Dengan demikian kami akan tiba di lokasi Peringatan HUT Telapak tanpa terlambat. Kami pun segera melangkahkan kaki kembali. Tercatat saya, Ejhon, Hendaru, Ruwi dan ditemani oleh Debbie sang istri yang berjalan kaki. Sementara sisanya membawa kendaraan.
Setelah basah kuyup diguyur hujan, akhirnya tim pejalan kaki telapak ini pun tiba di Ciapus dengan selamat. Perhitungan kami tepat, karena acara masih belum dimulai. Pfhiuuuhhh … tuntas sudah napak tilas ini. Banyak sekali yang kami dapat selama perjalanan. Tak hanya kelelahan fisik, namun juga seluruh ujian mental kami rasakan. Belum lagi suasana indah yang kami jumpai saat melintas di lingkungan pedesaan. Semoga napak tilas ini tidak hanya berhenti di sini. Kami berharap masih bisa melakukan hal yang serupa di lain hari dengan rute2 lainnya.
Sabtu, 06 Februari 2010
Napak Tilas Telapak BAGIAN #3 HABIS
Tags:
Aktivitas,
napak tilas,
Telapak,
ulang tahun telapak
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
3 komentar:
pertamax... bisa jadi tradisi tahunan nih. tahun depan jalan ke tapos trus ke handeuleum
keduax ...
jangan tahun depan Yat ... tahun ini aja dan kamu ikutan juga doong.
dari hasil obrol2an diantara para napak tilasers telapak rencananya adalah
1) napak tilas Elang Jawa (Ciburayut/Loji) - Tapos - Handeuleum - Bobojong - Pasir Kramat
2) napak tilas susur Ciliwung
Cilebut - Kedung Halang - Kedung Badak - Warung Jambu - Sempur - Pulo Geulis - Sukamulya - Bantar Kemang - Katulampa - Ciawi
hayu atuh, ane ikut yang napak tilas elang jawa ya, mudah2an dapet sarang aktif
Posting Komentar