Jumat, 05 Februari 2010

Napak Tilas Telapak BAGIAN #2

Jurit malam pramuka palsu

Ketika jarum arloji berada di sekitar angka 11, kami pun melanjutkan perjalanan. Tak lupa, seperti sebelumnya saya dan Ruwi menempelkan prasasti telapak. Kali ini jumlahnya bukan 1 buah prasasti, tapi 3 buah. Satu di teras gudang PNU Jabar, satu di teras Gekko, dan satu lagi di teras studio. Sesaat sebelum kaki2 kami melangkah keluar halaman, kami berfoto bersama. Tim pejalan kaki ini mendapat tambahan personil lagi, yaitu Ejhonski, Alex dan Kang Hendra. Jadi total personil berjumlah 5 orang pejalan kaki dan 1 orang, yaitu Kang Hendra sebagai pendukung logistik .

Langkah2 kaki kami terlihat menapak dengan mantap meninggalkan Gekko. Bismillahirrohman nirrohiim … satu dua satu dua kami berjalan mantap menembus kegelapan malam Perumahan Yasmin, Desa Curug Mekar. Kelima pejalan kaki telapak ini sudah mirip 5 jagoan saja dengan ransel kecil di setiap punggungnya. Setelah melintasi lampu merah, kami pun menyempatkan diri kembali berfoto. Kali ini tepat di atas jembatan Sungai Cisadane. Beberapa kendaraan yang melintas di samping kanan kami memainkan lampu dan membunyikan klakson. Mungkin para pengendaranya iri dengan kehebatan 5 jagoan pejalan kaki ini … hehehe. Atau … jangan2 para pengendara itu berusaha mengingatkan kami agar tidak menjadi “orang gila” yang kurang kerjaan.

Selepas jembatan Cisadane, kami pun melintas di tepi Terminal Bubulak. Suasana terminal tampak sepi, berbeda dengan siang hari yang gegap-gempita dengan ribuan angkot. Maklum Bogor kan terkenal sebagai “kota angkot”, jadi suasana terminalnya pasti mirip sarang semut … ehh angkot jika siang hari. Tapi malam itu, yang gegap-gempita mungkin hanya suasana hati kami berenam. Gegap-gempita karena semangat membara utk menaklukkan perjalanan ini. Lima jagoan pejalan kaki menembus malam. Saya jadi membayangkan saat masih bersekolah dulu. Saat mengikuti kegiatan pramuka. Rasa2nya kami ini seperti sedang melakukan kegiatan “jurit malam”. Suasana jurit malam ini makin terasa saat mendekati kawasan hutan CIFOR. Hiiii … sereeem ….


Namun, suasana jurit malam ini sempat berubah. Di kampung Situ Gede kami memilih berjalan melewati kerumunan orang kampung. Mereka rupanya sedang asyik menikmati tayangan “layar tancap”. Ingin rasanya saya berhenti sejenak untuk ikut nonton dan mencicipi jajanan yang dijajakan di sepanjang jalan. Tapi apa daya, jika kami harus berhenti lagi, kapan sampainya? Akhirnya saya hanya sempat melirik sebentar, berhenti 3 detik untuk memperhatikan layar lebar di tepi jalan itu. Rupanya yang sedang ditayangkan adalah filem komedi ringan yang salah satu bintangnya adalah Indra Birowo. Siapa dia? Ahh gak penting kali … dia itu lho yang main di tayangan Extravaganza di Trans TV.

Setelah melintasi Kampung Situ Gede, kami lalu beristirahat meluruskan kaki yang mulai pegal-pegal. Kami memilih tepian Danau Situ Gede. Sambil beristirahat dan menghisap rokok, masing2 dari kami mulai menikmati suasana Situ Gede di malam hari. Saya membayangkan seandainya bisa sambil memancing ikan di sini. Ejhonski berusaha menjelaskan pengalamannya dulu saat berwisata bersama keluarganya di sini. Ruwi, Alex dan Kang Hendra menikmati isi cairan dalam kaleng bertuliskan “mengandung alcohol”. Hendaru yang mengaku mengantuk, merebahkan diri berusaha memanfaatkan waktu untuk tidur. “Menghemat tenaga”, katanya.

Suasana damai serta obrolan dan nyanyian penghibur hati

Seusai istirahat, kami melanjutkan perjalanan menuju Kampus IPB Darmaga. Kami memilih rute jalan kecil membelah areal persawahan yang menghubungkan Situ Gede dengan kampus. “Nyaman, damai, dan enak suasananya”, ungkap Alex. Ungkapan ini tentu saja diiyakan oleh kami yang lain. Betapa tidak, kami berjalan seperti diiringi oleh suara jangkrik dan gemercik air selokan irigasi sawah. Agak jauh di sebelah kiri kami terdengar gemuruh sayup2 suara aliran air sungai Cikarawang. Pedesaan banget lahh … Padahal sebenarnya tenaga kami sudah agak melemah. Otot paha dan betis mengeras. Mata pun sudah ingin terpejam. Saya mengintip arloji dan jarum pendeknya mendekati angka 1. “Ediaan … sudah waktunya ngorok nih”, gumam saya dalam hati.

Saya berjalan di depan bersama Ejhonski dan Hendaru, sementara Alex dan Ruwi di belakang. Sayup2 saya mendengar percakapan kawan2 yang di belakang. Sebuah percakapan yang mungkin tidak ada artinya. Hanya sekedar memecah keheningan malam dan melupakan rasa letih dan lesu. Ruwi berusaha memberi tahu pada Alex bahwa di tempat ini seorang penulis terkenal punya rumah peristirahatan. Ia mengatakannya karena sang penulis berdarah Sulawesi Utara, sama seperti Alex. Namanya Remi Silado. Sayangnya hingga kami melintasi persawahan yang damai ini saya tidak mendengar ungkapan yakin dari Ruwi tentang di mana letak pasti rumah sang penulis. Ini adalah hal yang sama dengan upaya Hendaru yang menjelaskan bahwa ia memiliki teman yang membiakkan jamur tiram di tempat ini. Hingga kami melintasi tempat tersebut Hendaru juga tidak begitu hafal di mana letak kebun temannya itu.

Selepas areal persawahan, dilanjutkan dengan kompleks perumahan pegawai IPB, dan jembatan Cangkurawok, akhirnya kami tiba di sisi utara Kampus IPB Darmaga. Di sini kami punya cara lain untuk menghibur hati yang lelah dan fisik yang lemah. Tak lain dan tak bukan adalah bersenandung riang lagu di era 80-an. Yang terpilih adalah lagu yang dipoluperkan oleh Heidi Diana. “Romantika bercinta, sungguh aneh ada2 saja. Remaja2 kini pun pandai beraksi. Di dalam kamus bercinta, slalu saja memakai istilah. Yang tidak didapat dari guru bahasakuuu. Benci, benar2 cinta. Sebel, senang betul … dst dst.” Kemudian di bagian akhirnya ditutup dengan “Susuki … sungguh2 laki2 …. Hahahaaaa”. Kami menyanyikannya berulang2 sambil sesekali diselip dengan “mulan jamila, mau lancar jatuh miskin lagi” dan “udin gawang, udara dingin gak punya uwang”.

Tak terasa kami, perlahan tapi pasti tanjakan tajam di depan Asrama Mahasiswa IPB kami lalui dengan hiburan tadi. Kami berjalan terus melintasi SMU Kornita dan akhirnya … sampai juga kami di sasaran berikutnya yaitu Sekretariat LAWALATA IPB sekitar pukul 01.30. Kami disambut dengan hangat oleh para pecinta alam yang menginap di sana. Mereka memberi suguhan teh manis dan tempat tidur. Tentu saja tempat tidur itu bukanlah kasur yang empuk, tapi kursi panjang, sleeping bag dan karpet di atas lantai. Sebagai tamu tentunya kami harus menjaga kesopanan untuk menyapa dan ngobrol ringan dengan mereka. Tapi dasar kondisi fisik sudah lelah, satu persatu kami pun mulai hilang kesadaran dan tidur. Jangan bertanya lagi apakah kami ngorok. Jawabnya sudah pasti iya … [BERSAMBUNG]

1 komentar:

Unknown mengatakan...

bener-bener kurang kerjaan.... seharusnya jalannya nyeker. sekalian gilanya!!! hehehe ....