(sumber peta)
Tanah Surga Buat Siapa?
Tidak berlebihan jika Pulau Papua disebut sebagai "surga" dunia. Sebagian besar keanekaragaman hayati di dunia masih tersimpan di pulau ini. Selain itu, juga terdapat ratusan suku bangsa asli Papua.
Karena Papua, negara Indonesia menjadi salah satu negara terkaya didunia dari keanekaragaman hayati (megabiodiversity country) dan budayanya (megacultural country).
Sayangnya, kekayaan alam yang terdapat di pulau Papua belum dinikmati oleh masyarakat adat di Papua. Berbagai kebijakan dan program tidak mementingkan kesejahteraan masyarakat adat bahkan menyingkirkan hak-hak mereka atas wilayah.
Sebenarnya "pulau surga" ini buat siapa?
Seperti yang kita ketahui bahwa Belanda telah menjajah Indonesia selama 3.5 abad lamanya, termasuk Papua. Setelah merdeka, Papua lalu berintegrasi dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Namun, sejak bergabung dengan NKRI Masyarakat Adat di Papua mengalami berbagai permasalahan terkait dengan hak-haknya. Pasalnya, aset-aset yang dikuasai oleh Belanda pada waktu itu, diklaim secara sepihak oleh pemerintah sebagai milik negara. Lalu aset-aset tersebut lebih banyak diserahkan kepada pengusaha, politisi, dan kroni-kroninya melalui kebijakan dan atau program-program tanpa ada konsultasi dengan masyarakat adat.
Undang-undang dasar (UUD) 45 pasal 33 ayat (3), disalah artikan dan digunakan sebagai dasar bagi pemerintah (orde baru) untuk merampas hak-hak masyarakat adat di Papua.
Terlihat jelas, ketika pemerintah mengeluarkan Undang-undang (UU) sektoral. Salah satunya UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan bahwa "Hutan adat adalah hutan negara".
Banyak konflik yang terjadi antara masyarakat adat vs pemerintah ketika UU 41 tahun 1999 ini diberlakukan. Masyarakat adat yang merasa punya hak atas hutan mereka, tidak menerima klaim dari pemerintah. Sementara pemerintah masih ngotot dengan pendiriannya. Hal ini terus terjadi sampai saat ini.
AMAN-MRP; Diskusi mencari Solusi"Sebagai pengantar, saat ini ada berbagai persoalan yang dihadapi oleh masyarakat adat Papua. Masalah yang krusial diantranya tentang kepemilikan tanah, hutan, dan ekspansi perkebunan kelapa sawit skala besar. Dan dari AMAN mohon untuk bisa menanggapi dan memberikan masukan untuk permasalahan yang dihadapi orang Papua saat ini"
Pernyataan diatas disampaikan oleh Dominingus Sani, Ketua PD AMAN Sorong Raya dan juga anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) membuka diskusi terbatas dengan PB AMAN di Jakarta 24 Mei 2010 yang lalu.
Kedatangan MRP disambut oleh Wakil Sekjen AMAN, Mahir Takaka dan beberapa staf dari PB AMAN. Pada waktu itu, Sekjen AMAN, Abdon Nababan sedang menghadiri suatu acara di Palu, Sulawesi Tengah.
Diskusi ini memang tidak diagendakan sebelumnya. Waktu itu, sebenarnya kedatangan MRP ke Jakarta bertujuan untuk mengadakan pertemuan dengan pemerintah pusat (DPR, Menko Polkam, dll) untuk membicarakan soal pemekaran wilayah di Papua.
Untuk mengisi waktu luang, maka MRP mengadakan diskusi dengan PB AMAN. Diskusi berlangsung selama 2 jam.
Peserta diskusi dari anggota MRP. Secara khusus mereka adalah perwakilan MRP-dari Kelompok Kerja Adat yang mewakili 14 wilayah adat dan 254 suku bangsa di Papua.
Permasalahan yang dihadapi Masayarakat Adat saat ini
Dalam diskusi, perwakilan anggota MRP yang dikomandani oleh Dominingus Sani ini menyampaikan beberapa permasalahan yang saat ini menjadi kekhawatiran rakyat Papua. diantaranya adalah;
- Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit Skala Besar -
Sudah tidak diragukan lagi bahwa hutan di Papua merupakan paru-paru dunia. Namun pemerintah telah memaksakan perkebunan kelapa sawit beroperasi di Papua. Hal ini jelas mempengaruhi hutan Papua. Menurut Adolf G. Kogoya (anggota MRP), Bahkan sudah ada perjanjian kerjasama dari pemerintah pusat dengan Gubernur yang sudah disepakati.
Keluhan masyarakat Papua luar biasa. "Dulu mereka gampang mencari babi, tapi sekarang sulit ditemui dihutan karena takut mendengar alat-alat berat dari perkebunan", jelas Adolf G. Kogoya.
"Di daerah yang tinggi, memang perkebunan kelapa sawit tidak bisa masuk. Tapi ada masalah, dengan akses masyarakat adat terhadap hutan. Ketika masyarakat mengambil kayu dilarang dan diancam, tapi kalau polisi yang mengambil kayu tidak dilarang", lanjutnya.
- Konflik Tenurial -
Konflik tenurial atau kepemilikan tanah merupakan masalah utama di Papua. Pemerintah dan pengusaha telah mengambil tahah adat melalui berbagai cara.
Program transmigrasi yang dicanangkan pemerintah pusat adalah salah satu cara untuk merampas tanah adat.
"Pengambilan tanah untuk transmigrasi dipaksakan oleh aparat polisi dan tentara. Bahkan pemilik tanah dipanggil dan ditodong dengan senjata." , kata Martinus Buain.
- Pemekaran Wilayah -
Jumlah penduduk Papua tidak mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun. Menurut Dominingus Sani, pada tahun lalu (2009) sekitar 1.5 juta jiwa, dan sensus tahun ini menjadi 2.8 juta jiwa.
Luas tanah Papua (21,9% dari total luas tanah Indonesia)yaitu kurang lebih 421.981 km2. Rasio antara jumlah penduduk dan luas tanah sangat besar. Oleh karena itu tanah-tanah orang masyarakat adat di Papua harus dilindungi.
Pemekaran wilayah hanya akan menyediakan ruang-ruang bagi orang diluar Papua. Selain itu, "pemekaran wilayah juga membuat orang Papua tersingkir dan menjadikan arus migrasi orang papua menjadi tinggi" Kata Dominingus Sani menjelaskan.
Pemekaran wilayah sebenarnya tidak diperlukan bagi penduduk Papua (karena penduduknya belum banyak) sehingga perlu untuk ditinjau ulang.
Kalo dikaitkan dengan permasalahan yang lainnya (perkebunan kelapa sawit dan tenurial) hal ini justru akan memperkeruh suasana. Bukan sebagai solusi justru semakin menajamkan konflik terkait hak-hak masyarakat adat.
Dengan pemekaran, Penguasa / pemerintah daerah akan dengan leluasa membagi-bagi wilayah adat untuk kepentingan "investasi" semata.
Akar Permasalahan
Situasi yang dihadapi oleh masayarakat adat di Papua pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan situasi yang dihadapi oleh masyarakat adat di Indonesia secara keseluruhan, khususnya anggota AMAN. Tapi ada perbedaan bahwa saat ini di Papua sudah ada Undang-undang 21 tahun 2001 (UU 21/2001) tentang Otonomi Khusus Papua.
Dalam UU 21 /2001 terkandung didalamnya harus ada tiga hal yaitu; (1) Perlindungan, (2) Pemberdayaan, (3) Keberpihakan terhadap orang Papua, di setiap program dan kebijakan pemerintah. Akan tetapi implementasi atau pelaksanaan teknis UU ini belum dilakukan dengan baik.
Kebijakan dan program dari pemerintah yang ada tidak berpihak kepada orang Papua, tapi justru ke Pengusaha dan orang asing. Hal ini menimbulkan konflik dan kecemburuan sosial yang tinggi.
Selain itu, adanya stigmatisasi terhadap masyarakat adat Papua yang memperjuangkan hak-hak mereka. "Kita (MRP) dihadapkan dengan kecurigaan-kecurigaan dan sering di cap sebagai sparatis. Stigma ini selalu melekat di masyarakat adat di Papua yang melakukan perlawanan untuk menuntut hak-haknya", Kata Adolf G Kogoya.
Tanggapan AMAN
Direktur Pemuda Adat AMAN, Arifin "Monang" Saleh, mengatakan bahwa pada tahun 2008, di Hotel Sopian pernah diadakan diskusi mengenai permasalahan yang dihadapi di Papua. Dalam diskusi tersebut menghasilkan rekomendasi tentang peningkatan kapasitas (capacity building) untuk orang Papua terkait hal ini.
Untuk saat ini sebenarnya yang paling penting adalah menindaklanjuti hasil dari rekomendasi tersebut. Mengingat, bahwa semua permasalahan yang terjadi di Papua tidak akan selesai di bahas dalam kesempatan ini.
"Di Internasional, kita mengangkat masalah MIFEE, ada juga tentang pertemuan para gubernur tentang hutan. Saya pikir MRP punya peranan strategis terkait hal ini. Bagaimana respon kita terhadap diskusi di Hotel Sopian dulu?. Saya pikir itu yang bisa kita lakukan. Contohnya, penyiapan organisasi", Monang menjelaskan
Mahir Takaka menambahkan, bahwa terkait dengan penguatan kapasitas (capacity building) masyarakat adat, paling tidak AMAN mendorong tiga hal;
1. Implementasi prinsip-prinsip Free, Prior, Informed, and Consent (FPIC)
2. Bagaimana penguatan hak-hak masyarakat adat dengan mengunakan peta sebagai alat advokasi.
3. Dengan isu-isu yang marak akhir-akhir ini di Papua (Sawit, MIFEE, Tambang dll), AMAN akan melakukan advokasi di International, supaya pihak PBB dapat melakukan investigasi soal ini di Papua.
Ada dua hal yang saat ini dilakukan AMAN terkait dengan pembekalan hak-hak masyarakat;
1. Pembekalan Pemetaan masyarakat adat, untuk mengatasi konflik-konflik yang terjadi tentang batas wilayah (bisa antar suku, ataupun dengan pemerintah),
2. Selain pemetaan, dibarengi pendokumentasian wilayah adat atau komunitas-komunitas masyarakat adat yang ada di Papua (termasuk teroteri/wilayah, sejarah, dan profil masyarakat adat).
Dengan peta dan data komunitas, masyarakat adat mempunyai alat untuk bernegoisasi dan atau klaim terhadap rencana pembangunan (sawit dan sebagainya)diwilayahnya.
Selain itu saat ini AMAN juga telah menerbitkan buku panduan FPIC versi bahasa indonesia.
Secara umum, di Papua saat ini sedang ada konsolidasi pembentukan pengurus wilayah AMAN (PW AMAN). "Masalah-masalah yang ada di Papua (termasuk yang disampaikan oleh MRP saat ini) akan diintgrasikan pembahasaannya seiring dengan pembentukan PW AMAN di Papua" Wakil Sekjen AMAN, Mahir Takaka, menjelaskan.
Dalam konteks perjuangan, sebagai sebuah organisasi yang berbasiskan anggota masyarakat adat di seluruh nusantara, AMAN mendorong bagaimana PW AMAN di Papua bisa terbentuk dengan baik. Meskipun sudah banyak organisasi, namun AMAN tidak bisa bekerja dengan maksimal jika tidak ada pengurus disana.
Oleh karena itu, AMAN mengharapkan MRP dapat membantu pembentukan pengurus wilayah AMAN di Papua. (ARS/AMAN)
Selasa, 06 Juli 2010
Masyarakat Adat Papua; Mencari Solusi dari Upaya Penyingkiran di Tanah Surga
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
3 komentar:
keren bro...
Thanks Bang Gonjes. Tulisan Bang Gonjes juga keren2.
Bisa diturunkan ngak ilmunya bang?
Posting Komentar