Mungkin para pembaca pernah mendengar cerita soal pemabuk. Saya dapat cerita ini dari 2 tempat, yaitu di Medan dan di Papua. Ini soal bagaimana cara tidur mencerminkan tingkat perkonomian seorang pemabuk. Jika pemabuk tersebut sedang banyak rejeki, maka ia cenderung menghabiskan uangnya dengan mengkonsumsi sebanyak2nya minuman beralkohol. Ia menikmati rejekinya dengan mabuk berat. Jika sudah tiba saat kondisi fisiknya tak kuat lagi bertahan, maka ia pun akan tertidur pulas di got alias saluran air di tepi jalan. “Jika punya uang, maka pemabuk itu akan tidur di hotel (bintang banyak). Namun jika ia sedang tidak punya uang, maka ia akan tidur di rumah saja”.
Bagaimana selanjutnya? Saya juga tidak tahu lagi, namun cerita tadi hanyalah sebagai pengantar untuk cerita saya sesungguhnya. Kemarin malam saya mengalami hal yang agak mirip dengan cerita tadi. Tapi ini bukan mabuk atau jadi pemabuk. Kejadian ini saya alami saat saya buang hajat alias “pup” di sebuah desa kecil di tepi muara sungai kecil yang mengalir ke Sungai Kampar Kiri di Riau.
Setelah seharian berperahu motor dengan bahan bakar campur [bensin campur dorong], tenaga pun jadi terkuras hingga saya cenderung malas memikirkan soal kenyamanan. Hari sudah menjelang tengah malam ketika panggilan alam tersebut datang. Ditemani oleh Oom Alex, saya pun pergi mandi karena sudah tertunda selama beberapa jam sebelumnya akibat perjalanan panjang. Di mana nih kita mandi? Di mana lagi kalau bukan di sungai. Maka sebuah rakit kecil dengan jamban yang terikat di tepi sungai pun kami tuju.
“Oom Alex, kamu mandi duluan deh … perutku mules nih!”. Saya pun segera masuk dalam sebuah kotak kayu setinggi dada di rakit tersebut. Copot celana, nyalakan sebatang rokok dan … langsung jongkok. Tidak ada toilet duduk tempat mendaratnya paha. Tak ada pula toilet duduk tempat bertumpu kaki sambil jongkok. Yang ada hanya dua batang kayu melintang yang setengahnya terendam air sungai di bawahnya. Dalam hitungan detik, hembusan asap rokok saya pun mengiringi aktivitas buang hajat ini.
Sementara itu, saya mendengar suara guyuran air sungai. “Ahh … pasti itu Oom Alex yang sedang mandi”, pikir saya. Tak berapa lama kemudian Oom Alex berkomentar sambil tertawa. Ia mentertawakan saya yang sedang buang hajat di kegelapan. “Yang kelihatan hanya asapnya saja”, kata Oom Alex. Saya pun lalu memperhatikan rokok di tangan. Tiba2 ingatan saya langsung menuju cerita pemabuk di atas. Ternyata jamban ini tidak ada atapnya. Yang terlihat di atas saya adalah kerlap-kerlip bintang di langit. Beruntunglah saya tak terbawa perasaan hati saat memandang angkasa. Saya sedang uang hajat, rasanya koq agak kurang pas jika dilakukan sembari menikmati betapa romantisnya memandang keindahan kerlap-kerlip bintang di sana.
Tapi mungkin suasana seperti ini lah yang sengaja ingin dimunculkan oleh para warga setempat. Mungkin mereka memang sengaja tidak ingin membuat atap pada jambannya. Sehingga ada suasana romantis serasa buang hajat di hotel berbintang (bintang banyak) …. hehehe.
Senin, 14 Juni 2010
Toilet Kelas Bintang
Tags:
berbintang banyak,
jamban,
Riau,
Sungai Kampar Kiri
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
6 komentar:
Mantab euy, pasti banyak cerita menarik dari ekspedisi yang unik ini. Bikin filmnya juga kan ?
foto banyak, cerita juga banyak, video ... aku belum tahu, tapi yg jelas ada yg shoot dari temen2 Hakiki
sip lah bos, bisa jadi satu buku sendiri tuh
Rencananya Oom Zen dan temen2 river defender juga begitu ... hasilkan sebuah buku.
Bukan begitu Oom Zen??
Bukan begitu, Oom Oiek...... hehehe,
Iya memang ada rencana untuk mendokumentasikan proses dan hasil perjalanan ekspedisi sungai kampar dalam bentuk buku.
Semoga bisa kesampaian......
sip lah Om Zen, tetap semangat !
Posting Komentar