Rabu, 14 Oktober 2009

Mari menggusur Bogor?

Siapa yang kenal Bogor? Kalau dulu pastilah dia akan kenal juga pada Talas Bogor dan Nanas Gati. Itu mungkin situasi berapa belas tahun lalu. Bagaimana sekarang? Siapa yang kenal Bogor tentunya ia akan mengenal juga beragam jajanan Kota Bogor, seperti Roti Unyil (Venus), Asinan Gedong Dalem, Soto Kuning, Ngo Hiang, Toge Goreng Pak Gebro, Macaroni Panggang, Pia Apple Pie, Nasi Timbel M-11, Bubur Ayam Kabita, dan Restoran Gumati. Telah terjadi keragaman jenis penganan khas yang disediakan oleh Bogor memang. Wajar saja jika Bogor selalu diserbu khalayak ramai dari beragam warga negara, profesi dan asal-usul. Alasannya bisa macam-macam, mulai dari alasan wisata akhir minggu, hingga alasan pertemuan tahunan, rapat koordinasi, lokakarya, bertemu klien, napak tilas, hingga sekedar “ngadem” [baca: cari udara sejuk].

Ternyata perubahan keragaman itu tak hanya terjadi pada jenis penganan. Perubahan juga terjadi pada tempat-tempat lain yang dikunjungi selain untuk makan. Dulu kita hanya kenal Kebun Raya Bogor, Istana Bogor, Museum Zoologi, Herbarium Bogoriense, serta Gunung Salak dan sekitarnya. Kini, tempat-tempat tersebut mungkin tidak lagi jadi prioritas kunjungan. Sebab kini yang dicari khalayak adalah Taman Safari, sepanjang Jalan Pajajaran yang dipenuhi toko-toko pakaian murah (factory outlet), pabrik Tas Tajur, mal-mal berbau wangi dan sejuknya udara kaleng (Ekalokasari Plaza dan Botani Square), serta tempat wisata air sejuk berlimpah di the Jungle. Semakin jarang orang yang mengunjungi tempat bersejarah dan berwisata ilmiah. Yang jadi pusat perhatian dan keinginan adalah tempat-tempat berbelanja mewah dan bergaya hidup konsumtif.

Pernahkah kita sendiri sebenarnya memikirkan sedikit lebih dalam tentang perubahan ini? Rasa-rasanya hal ini semestinya jadi perhatian warga Bogor, atau orang yang punya kedekatan emosional pada Bogor.

Menurut orang-orang pintar di Institut Pertanian Bogor, perubahan tersebut telah mengorbankan kepentingan sosial dan lingkungan di Bogor. Misalnya saja, wilayah pemukiman yang tenang menjadi hiruk pikuk dan padat kendaraan bermotor karena menjamurnya café, resto, dan factory outlet. Lingkungan kampus bersejarah berubah menjadi pertokoan. Tepian sungai dialih-fungsikan menjadi perumahan elit. Pasar tradisional menjadi pertokoan. Serta kawasan pedesaan, kebun buah, dan persawahan yang berubah jadi tempat wisata bertaraf internasional. Semuanya berisi penggusuran. Penggusuran akan ketenangan suasana kota pensiun, penggusuran suasana kampus, penggusuran pasar, penggusuran keasrian tepi sungai, dan penggusuran kawasan pedesaan yang asri.


Anehnya perubahan bernuansa “menggusur” dan mengalih fungsikan ini seakan direstui oleh semua orang. Pemerintah seperti berpihak sepenuhnya pada perubahan tersebut dengan tetap mengijinkan kejadian tersebut berlangsung. Khalayak ramai pun seperti senang terbius pada “kenyamanan” modern yang kadang semu. Para ahli tata ruang di perguruan tinggi pun seperti tak punya peran untuk mengatakan tidak dan jangan. Semuanya terjadi dengan lancar … tanpa hambatan dan (nyaris) tanpa kritik. Seakan semua orang mengamini tawaran agar Bogor menjadi kota metropolitan dan daerah sekitarnya tidak menjadi kawasan penuh pepohonan dan pertanian. Tradisional dan bersejarah adalah istilah yang “ketinggalan jaman”.

Semua tempat nyaris habis digusur dan berubah fungsi. Mungkin yang tersisa hanyalah kawasan kaki Gunung Salak. Tapi … siapa bilang tempat tersebut aman dari penggusuran? Beberapa kawan yang seringkali keluar-masuk kampung di wilayah itu ternyata juga tidak dapat tiduk nyenyak. Kabarnya banyak tanah yang sudah dan akan dijual untuk selanjutnya menjadi lokasi wisata bertaraf internasional. Petani penggarap mulai kebingungan mencari lahan garapannya. Bogor disinyalir sudah mengalami kelangkaan air. Bahkan kabarnya kawasan hutan asli di Taman Nasional Halimun-Salak juga diincar menjadi bagian dari lokasi wisata internasional tersebut.

Jika demikian kondisinya … saya kira tak salah jika kita memikirkan perubahan itu secara serius dan menentukan sikap. Bergabung dengan orang lain untuk mengamininya? Pindah tempat ke kota dan daerah lain? Atau … berikhtiar untuk melawan penggusuran dan alih fungsi ini?

ilustrasi gambar diunduh dari laman ini serta dari sini.

0 komentar: